“Memilih kelompok atau kafilah yang bisa mendekatkan dinding hatimu kepada-Nya”

Saat itu seorang Sabil sedang melintasi kota Maya, ia menyusuri jejak para pemanol. Matahari dengan pongah menganga di atas kepalanya, panasnya melobangi setiap jengkal tanah yang dipijak oleh kaki mereka, sampailah ia di puncak dahaga, laju air ludahnya terhenti di tengah-tengah kerongkongan, namun ia tetap saja menarik kakinya yang sudah tidak mampu ia pijakan, tibalah di satu rumah, ia melihat sekelompok kafilah sedang asik berkumpul sambil menikmati gelas piala.
Seseorang berkata padanya :
“Kemarilah, bergabunglah dengan kami sekalian, mari bersama-sama menikmati cita dalam gelas piala, kamu telah melewati perjalanan yang sangat jauh, pakaianmu yang robek, tubuhmu yang lusuh, serta keringat yang bercucuran dari tubuhmu menggambarkan itu” Seseorang berusaha meraihnya.
“Terima kasih kuucapkan karena sudi menerima aku yang sedang menapaki perjalanan” Dengan senang hati Sabil menerima tawarannya, lantas ia duduk di samping mereka.
Hari berlalu Sabil berbaur dengan para kafilah tesebut, setiap harinya ia lewatkan bersama mereka, sambil berharap hikmah datang setiap harinya, baginya lebih indah menyerap setetes hikmah dari pada memikul sekarung ilmu. Dawai suara alat musik mengalun, gaung pujian dalam lantunan suara musik dan nyanyian setiap harinya selalu terdengar, sehingga mereka larut dalam buaian kenikmatan, jika datang malam hari mereka senantiasa menyalakan api unggun dan tungku untuk di kelilingi oleh mereka, hingga tibalah suatu masa.
“Nikmatilah malam ini, kita akan bersuka cita dalam kehangatan, mari kita panjatkan hati kita, karena suara musik ini akan membuat kita sampai di puncak ketenangan” Sang kepala kafilah berkata di depan mereka.
“Ya, suara musik dan nyanyian ini akan sampai, namun sampailah kita pada Saqar” Sabil berkata pada dirinya sendiri.
Ia kembali duduk di samping mereka, dengan tak sengaja pakaian yang ia kenakan menyentuh pakaian mereka, kemudian Sabil berusaha menariknya.
“Kenapa kamu menarik pakaiannya, pakaianku tidak kotor? Salah satu orang bertanya kepada Sabil
“Tidak tuan, justru pakaianku yang kotor, aku takut mengotori pakaian milik tuan, maka aku menariknya” Sabil berusaha untuk menjawab pertanyaannya. Kemudian Sabil membuka bajunya, lalu membakarnya dalam tungku, berkobarlah api tersebut, Sabil bertelanjang dada dan tetap duduk di samping mereka.
“Tuan yang terhormat, sekarang aku tidak mengenakan baju dan tubuhku yang kurus, kering dan kotor terlihat, aku tidak pantas untuk bersama-sama kalian, aku takut mengotori pakaian tuan-tuan, aku hendak pamit, untuk melanjutkan perjalanan” Sabil beranjak dari tempat duduknya.
“Kenapa kamu pergi, hai Bani Adam?” Kepala kafilah bertanya kepada Sabil.
“Aku tak memakai pakaian, ijinkan aku untuk mencari sehelai kain agar aku bisa menutupi tubuhku yang kotor” Sabil kemudian berjalan beberapa langkah.
“Tidakkah kau tau, di sini tersedia pakaian yang bagus dan layak kau pakai” Seseorang mencoba menahannya.
“Saya tahu tuan, tapi pakaian milik tuan terlalu bagus untuk ku kenakan, permisi saya pamit untuk melanjutkan perjalanan” Sabil kemudian melanjutkan langkahnya.
THE END
(Nomina, Mei 2020)
Tuhan Kita Sedang Lumpuh?
Cerpen Melki Deni
Barangkali Tuhan sedang jalan-jalan ke rumah-rumah para wakil rakyat, mencatat jumlah perut yang terlampau buncit akibat menelan mentah-mentah uang pajak tanah rakyat yang tak mampu dikelola. Tidak menutup kemungkinan Tuhan sedang melawati umat yang menderita sakit, miskin papa, tersingkirkan, terbuang, pengemis, gelandangan, tawanan, dan kaum buruh kasar.
https://themelkideni.wordpress.com/2020/05/22/cerpen-terbaru-tuhan-kita-sedang-lumpuh/
SukaDisukai oleh 1 orang