IDEA

Fajar Terbit Tepat Waktu

Dokpri

Dari balik trali besi sang penganjur tampak duduk bersandar pada dinding tembok yang sudah beluwek warnanya, persis seperti peta ataupun pulau-pulau, ia terus memandangi tembok lusuh itu seakan mengingatkannya pada daratan-daratan yang pernah disinggahinya, mungkin kusamnya tembok dinding penjara itu disebabkan oleh rembesan air hujan yang sedikit masuk pada lubang dan retakan tembok tersebut, atau bahkan disebabkan oleh air seni para narapidana yang melampiaskan kekesalan dan keputusasaannya.

Memang jika seseorang melihat dari dekat, ia sedikit bisa menangkap warna apa yang ada di dinding tersebut, namun apabila dari kejauhan sepasang mata yang masih sehat pun akan kabur ; tak mampu melihat dengan jelas, apalagi sang opsir yang ditugaskan menjaga tempat tersebut sudah agak berumur.

Dengan sopan sang opsir mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Apakah bapak sudah menunaikan sembahyang hari ini?” Sang opsir bertanya pelan.

“sudah” Ia hanya menjawab dengan singkat, seraya menyingkatkan pembicaraannya, tahu betul ini adalah hari-hari terakhirnya berada di balik sel berpagarkan besi-besi itu. Meski semua manusia tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemputnya, namun jalan kematiannya hari ini telah digariskan oleh Sang Khalik.

Selama mendekam dalam tahanan ia hanya duduk bersimpuh menghadap ke timur, sesekali hela nafasnya dijeda oleh batuk yang tak henti-hentinya, namun tak sedikitpun ia terlihat gentar dengan kematian, baginya kematian hari ini adalah pintu pada sebuah Haplah keabadian di masa yang akan datang, dengan tanpa lelah ia terus berucap, bibirnya yang keriput dan kering seperti kedua tangan yang melambai-lambai kepada sang Malaikat maut, meski raga dan tubuhnya masih berada di alam fana, namun hati dan jiwanya sudah sampai di sana; mati sebelum mati.

Rasa dan Frasa yang tumbuh dalam dirinya sudah mengakar menembus batas-batas kejiwaan, sedikit sulit untuk diejawentahkan secara ril oleh pemikiran dan orang awam, apalagi oleh mereka yang memang tidak pernah mengerti dengan hal-hal semacam itu.

Menit silih berganti, waktu terus menemui rambu-rambu kehidupan, detak jarum jam yang beriringan terus dan terus berebut angka-angka, tapi tetap tak akan lepas dari takdir sang Qodir, yang me-Maqdurkan garis-garis hidup.

Sang opsir duduk di depan bundelan ataupun berkas-berkas penyerahan narapidana, ia menatap dengan tatapan kosong pada setiap kalimat yang dibacanya. Terlihat dari balik kacamatanya mengalir deras kebenaran mutlak, apadaya ketidakmampuannya membantu sang napi keluar dari balik jeruji besi harus ditebus oleh sejawatnya dengan kepergian.

Sepertinya sejarah pasti terulang kembali hanya waktu, tempat dan pelaku yang berbeda saja.

Tulisan ini sudah pernah saya posting disalah satu komunitas menulis “IKATAN KATA” dengan gaya tulisan implisit.

Tasikmalaya, 2020

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s