
Aku tidak bisa untuk tidak berkata lelah, karena aku manusia, hidupku memang tidak seberuntung orang lain, begitupun jiwaku rapuh seperti kain, tapi tidak juga melupakan sesuatu yang telah Ia berikan, setiap kesempatan, kebijaksanaan, serta benang kasih yang Ia sebarkan melalui detak jantung, hela nafas, bahkan aliran darah ini.
Apa yang kupunya itulah yang kupakai
Nomina
Tumbuh di lingkungan pedesaaan dengan kehidupan yang sederhana tak akan membuatku putus asa karena aku tak ingin menjadi orang yang melupakan karunia-Nya, sekecil apapun itu. Keinginan dan harapan untuk bisa serasi dengan orang lain memang tak bisa dipaksakan bagi setiap individu, aku ya aku, hanya seorang yang katanya anak petani tapi sampai detik ini pun tak kutemukan dimana sawah, kebun dan ladang itu, karena kenyataannya aku lahir dari rahim sebuah keluarga (orang tua) yang harus rela menjalani kesehariannya sekedar menggarap tanah milik negara yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam (atau sebangsanya). Namun dari situlah aku memulainya, karena akar hidupku harus tetap tumbuh, merambat melalui sela-sela retakan tanah yang hampir mengakibatkan longsor dan menimpa sebuah pedesaan apabila waktu itu tangan lembutnya tak ikut melakukan reboisasi.
Hari-hariku semakin tua, betapa aku harus paham dengan apa yang mesti aku lakukan, fasih untuk segala sesuatu yang harus dilalui, bukan karena aku tidak mampu menjadi “diriku” yang berada di dalam, namun kedua wajah itu adalah rupa yang harus kujaga agar mereka selalu diliputi kebahagiaan.
Nomina, 2021