Sejatinya kehidupan selalu diawali dengan kesulitan, namun jika dijalani dengan ketenangan akan berakhir dengan keberhasilan
Imriti
Dokpri
Seseorang yang sedang menempuh jalan salik ; mendekatkan dirinya kepada sang khalik akan terus diuji dengan berbagai macam ujian, baik dari segi psike ataupun psikis. Kebanyakan orang mengatakan bahwa ujiannya tergantung klasifikasi jiwa masing-masing. Namun terkadang Allah SWT mempunyai sekenario lain ; bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan oleh dalil pikiran ; hujjah, dengan alasan bahwa apa yang terkandung dalam akal manusia semuanya berhubungan dengan sifat-sifat makhluk (mumkinul wujud). Akal tidak akan mampu mendobrak perkara-perkara yang bersifat (wajibul wujud) karena itu bukan urusan akal, akan tetapi sudah menjadi bagian hati (iman). Seperti contoh : sekali waktu saya mendapati seorang siswa yang sedang kebingungan mengisi lembar jawaban karena soal dalam lembar ujian belum tersampaikan oleh seorang guru di kelasnya. Bukti bahwa soal yang sedang dihadapi oleh siswa tersebut tidak ada dalam kapasitas pemikirannya. Begitu pula dalam ujian hidup seorang manusia.
Jauh sebelum Aristoteles atau Heraklitos mengumandangkan jalan pikirannya Syeikh Sonhaji, Ibnu Malik, telah lebih dulu berpacu untuk mencerdaskan pikiran manusia, dengan metode pengkajian huruf hijiyah, hanya saja tidak seluruh umat manusia menyadari akan hal tersebut. Oleh sebab itu galilah huruf demi huruf kata demi kata sebab yang terkandung dalam huruf itu adalah cahaya ilmu.
“Manusia kerap terjebak oleh ketidaksabaran ia terjerumus dalam kubangan lumpur waham (kesalahan pemikiran) tentang dirinya sendiri”
Catatan Hikam
Robiutssany -1425 H-
Saya tidak punya buku ataupun bacaan seperti yang telah direkomendasikan oleh teman-teman sesama blogger, jadi apabila tulisan saya minim tentang sastera mohon dimaklumi, sebenarnya saya sangat antusias sekali untuk mempelajarinya, saya ingin membeli sebuah buku seperti orang lain, mereview, menguraikan isi-isinya, namun keterbatasan dana selalu menjadi kendala. Jadi saya manfaatkan sebuah coretan-coretan beberapa tahun silam – di sebuah asrama Sallafy. “Al-hasil semua bentuk tulisannya, acak-acakan” hehehe.
Sudah Tanggal 6 di bulan ke-6, Juni 2020 M, saya ingat sebuah pasal ke-6 dari 234 Bab – Pasal. Sebuah judul tentang “Do’a dan Ijabah” – Ridho dengan Pilihan-Nya. Bagaimana bisa seorang manusia menghakimi Tuhannya, sedangkan Dia adalah hakim terbaik, Dia maha tahu apa yang akan terjadi pada seorang manusia, Dia mengerti apa yang kita inginkan, namun Dia lebih tahu apa yang terbaik untuk kita – tidak bisa ditawar.
Sekalipun kau merasa dekat dengan-Nya, kedekatan itu tidak akan mampu merobek tirai takdir yang telah tertulis di Lauhil Mahfudz (sebuah ketentuan nasib), karena sesungguhnya Dekat adalah Jarak. Untuk memahami kepada hal ini tentu diperlukan belajar, misal : seseorang telah berusaha ekstra menjalankan usaha (syariat) untuk meraih sesuatu yang dicita-citakannya tidak hanya sekedar menengadahkan tangannya sambil memusatkan kekhusyuan pikiran, menarik hasrat ke atas, niat agar sebuah doanya bisa didengar oleh-Nya, usahanya telah ia tempuh dengan maksimal, tapi usaha adalah “rencana” bukan sebuah penentuan hasil.
Seseorang ingin berjodoh dengan seorang perempuan atau lelaki yang diinginkan ; maka jawabannya adalah : “Sekalipun dirinya dan seluruh malaikat turut memanjatkan doa maka bila itu bukan haknya dan tidak tertulis di Lauhil Mahfudz pasti tidak akan terlaksana. Jodoh adalah sebuah isyarat akan objek yang telah disediakan, tetapi keinginan akan perempuan atau lelaki tertentu adalah Syahwat dan Wahamnya yang masih belum surut.
– I n t u i s i –
“Jika ingin menggenggam, maka lepaskanlah apa yang ada dalam genggaman”
Apakah kita pernah memperhatikan ukuran telapak tangan kita? Betapa kecil dan sangatlah terbatas, ia hanya akan mampu membawa apa yang mampu di genggam. Jangan seperti anak kecil yang membawa beberapa mainan, karena tidak ingin mainannya di pakai oleh temannya ; di tangan kanannya sebuah mobil-mobilan, di tangan kirinya sebuah robot-robotan, kemudian lengannya meraih mainan lainnya, akhirnya jatuh pula. Sifat kekanak-kanakan itu terkadang muncul dalam kehidupan orang dewasa – manusia inilah yang dinamakan tamak atau rakus. Sebenarnya Dia telah memberikan gambaran, jika kita ingin merengkuh semuanya, maka simpanlah barang-barang (dunia) itu dalam sebuah wadah ikatlah dengan sebuah tali (dienulhaq) lalu genggamlah talinya dengan erat, “dunia” tidak akan lari dari genggamanmu.
Kembalilah kepada titik nol (besar), dimana di dalamnya tidak terdapat angka-angka atau nilai yang lainnya, jadikan nol itu sebagai bejana yang kerap akan terisi sendiri dengan apa yang telah ditentukannya, karena ketentuan yang paling baik selalu datang dari-Nya, dan lebih baik dari apa yang diupayakan oleh kita. Teruslah meminta dan lepaskanlah apa yang kita minta, tidak ada keinginan yang tidak dikabulkan oleh-Nya
“Sebuah matlamat manusia (makhluk) kerdil nan angkuh yang akan terbaring dalam pusara kubur”
Nomina
“Aku menjelajahi bahtera damai dalam sampan, berharap di tepi sampai”- Agenda 707-
Apabila malam jatuh kepadaku, tidak ada hal lain yang kulakukan adalah aku mencoba menaiki sebuah sampan kecil dengan dua dayung di tanganku, kuarungi samudera gelap, terang, sunyi, dan suara. Gelap adalah muasal hilangnya makna pada sepasang mata dan hati (Ainal Bashirot – Bashiratul Ain) sebelum cahaya tercipta di hari itu ; hari yang telah ditentukan wujudnya, kucoba menutup mata. Terang cahaya adalah benderang dalam pelupuk, menerangi gelap semesta yang terhalang oleh kedip, kemudian aku membuka mata. Sunyi adalah pemberhentian gerak semesta dalam jirim (batang tubuh) alam dan makhluk yang senantiasa, berubah pola, berubah arah, berubah pemikiran (Tagoyur-berubah) mutlak, semua itu bukti terpeliharanya sebuah takdir. Suara adalah wujud dalam bentuk lain dari gerak dzat tanpa rupa, tanpa warna, perjalanan Wujud Akli dan Wujud Hisi. Did Lughawi dan Naqid Istilahi, dua perkara yang mustahil berada dalam satu titik, ada gelap, tidak akan ada terang, ada sunyi, pasti ada suara, adanya gerak, maka tidak akan ada pula diam.
Empat ribu tahun setelah terciptanya cahaya itu kemudian Ia ciptakan pula sebentuk alam (Arasy) yang meliputi alam lainnya, dikatakanlah dalam sepenggal ayat “Kun Fayakun” terbentuklah penciptaan kedua, tidak ada keharusan manusia selain memikirkan sesuatu yang harusnya dipikirkan pertama kali adalah mengetahui awal diri kita sebagai manusia – Man arofa nafsahu fakod arofa robbahu- “barang siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya” namun, tebalnya dinding dunia (fana) membutakan semua.
Aku menguliti setiap jengkal tubuh, setiap tetes darah, setiap hembus nafas, setiap detak jantung, setiapnya adalah tanah, air, api dan udara yang terbentuk dalam Maqom Jama’. Proses panjang dan perjalanan yang lekang saat aku berada dalam rahim sang ibu, rahim yang diciptakan sebagai alam tempat tinggalku dahulu kala. Kerasnya dunia ini serupa debur ombak di atas puncak samudera, badai menggoyangkan sampan, topan mengubah haluan perjalanan, bertahan atau tenggelam bagaimana kokohnya kedua tangan menggenggam kedua dayung itu, sampai atau tidak ke tepian tergantung seberapa benar kompas hidup kita.
Dunia adalah benalu yang tumbuh di ranting hidup, kerap memilih bagian potensial pada cabang pikiran, ia memiliki kemampuan membunuh secara perlahan, dunia adalah rumput liar mengganggu akar kehidupan, apabila kita memberikan keleluasaan padanya, kehidupan pasti dipenuhi dahaga kegilaan ; haus tak berujung. Kehidupan itu akan layu, bahkan bisa gugur mengenaskan, sebelum semua itu terjadi kita perlu mencegah pergerakannya, agar tidak menghambat laju arah hidup kita, karena memerdekakan pikiran, tubuh, dan jiwa adalah sesuatu yang tepat dengan fitrah seorang manusia. Namun yang perlu kita ketahui kepada siapa kita tunduk, kepada apa kita sepakati kemerdekaannya
Merdekanya tubuh adalah bebas melakukan ketentuan yang hak terhadap waktu, tanpa adanya rasa takut terjadi sesuatu, baik itu nampak ataupun gaib. Merdekanya pikiran adalah kesucian akal untuk menimbang baik dan buruk, benar dan salah, kuat dan lemahnya kita, kedudukan akal dalam kepala manusia adalah alat untuk mengukur keterlibatan psike dan physical, sedang merdekanya jiwa adalah inti dari kemurnian akal dan keyakinan diri terhadap (sir ketuhanan) dan segala yang menyangkut Ukhrowi. Oleh sebab itu maka carilah ;
“satu yang tidak ada duanya, utuh tidak ada butuhnya, kekal tidak ada rusaknya, kuat tidak ada lemahnya, ada tapi tidak ada awalnya, dan juga tidak akan ada akhirnya“
Cara memerdekannya adalah melepaskan ; merelakan tanpa menuntut apapun pada hasil tercapainya tujuan, lulus atau tidak bukan ukuran, besar atau kecil bukan timbangan. Melepaskan segala sesuatu yang menjauhkan kita pada-Nya.
Berhentilah diri! Berhenti dari pengaturan-pengaturan akal ; pengaturan selain Tuhan, karena Ia telah menerapkan aturan-aturan dalam tubuh, jiwa, dan ruhani. Jangan berpikir bahwa akal sebuah tiara di atas kepala yang penuh kemewahan semata, ia hanya diam dalam singgasana nafsu yang mengarahkan tubuh pada Wujud Zalal (wujud fana), duduklah dalam tahta “Sudhur” kesuciannya tak akan pernah pudar, sekalipun tubuh-tubuh itu jatuh pada kubangan lumpur-lumpur kenistaan, hati tetaplah hati, keyakinan tetaplah keyakinan yang tak bisa dibohongi, hati senantiasa membawamu pada ikatan suci.
Jangan kau campuri urusan diri! sesungguhnya Ia yang berhak mengurusi diri. Betapa angkuhnya jiwa-jiwa yang lupa, ketika pagi datang mengintip dari tirai malam ; tirai yang selalu gegap dengan gelap, ditaburi oleh dingin sekeliling alam perasaan, kedua mata yang terbuka seakan menutup ribuan bahkan jutaan pintu hati dari nikmat sang penguasa (Rabb). Hangat peluk sinar mentari yang datang dari ufuk langit, cahaya yang selalu diakui kenyataannya, namun sesungguhnya sumber kehidupan nyata adalah Nur Illahi. Hirupan udara adalah oksigen yang membaur dalam tubuh, rejeki yang kita nikmati tak datang dari kesepuluh jarimu, tapi ia datang dari sebuah kemurahan-Nya. Jantung laksana pompa yang mengalirkan darah melalui liku urat yang melilit dalam tubuh, daging dan tulang, maka semakin diri hanyut dalam arus pikiran akal, semakin diri dan jiwa menjauh dari cahaya-Nya.
Beristirahatlah dari pengakuan-pengakuan amal (gerak, bekerja, aktivitas duniawi, ukhrowi yang diakui oleh diri) tanpa-Nya tubuh-tubuh itu tak akan mampu beramal, “Lahaulaa Walaa kuwwata Illaa Billah” bukankah itu sebuah Ikrar yang telah kita ucapkan saat pertama kali kita mengenal-Nya?
Begitulah ruang lingkup seorang hamba yang wajib diketahui oleh hambanya.