Hidup adalah Perang
Nomina
Akan kuceritakan kisah perjalanan saat aku menyambangi pesisir Rembang beberapa tahun yang lalu, begini kisahnya ;

Nominasite.home.blog. Cuaca panas menjelang sore itu terasa mencekik leherku (kering, dahaga) debu-debu beterbangan, bercampur-baur dengan asap yang keluar dari corong knalpot kendaraan ; tebal melumuri tubuh, terasa sangat akrab sekali saat keduanya bersua dengan butir keringat yang mengalir deras dari sekujur tubuhku, inilah yang menjadi satu-satunya alasan hasratku menyetujuinya untuk duduk di pinggir jalan ; membelakangi aktivitas pengguna jalan.
Aku duduk di bawah rambu lalu lintas yang berdiri kokoh di atas benteng pembatas antara tebing dan jalan raya, kulihat daun-daun kecoklatan, tak jelas warnanya ; terbalut serbuk halus dari tanah dan pasir jalanan, mesra menyetubuhi setiap helainya. Mataku tak goyah menatap laut biru, riak nan bergelombang, tak bisa kusimpulkan, apakah itu bagian dari ujung ; tepi atau di seberang sana masih tersisa bentangan yang luas, betapa sangat terbatas jarak pandang kedua mata ini, hanya mampu menafsirkan garis horizontal menjadi pemisah antara langit dan muka bumi yang biru, di atas puncak ombak bermekaran perahu layar para nelayan yang hendak pulang ke daratan, serupa kuncup bunga-bunga yang kegirangan di saat musim semi, terlihat jelas pagar betis menunggu sang nelayan menimbang ikan dari jaring, mereka turut serta membantu menarik perahu-perahu ke daratan. Saat perahu nelayan itu tiba di tepi pantai, aku melihat keindahan yang sangat luar biasa, pasir-pasir tersibak oleh tubuh perahu, disusul buih yang berlarian, deru suara ombak menggelegar bersahutan pada karang di pesisir pantai Rembang.
“Kenapa air laut terus bergerak, akan lebih indah apabila air yang ada di lautan itu tenang?” Seseorang bertanya dengan polosnya. Tak lantas kujawab, aku ingat pepatah seorang nabi “Ilmu (pengetahuan) itu ibarat dua kotak cahaya yang ada dalam kepalamu, kotak pertama untuk kau bagikan kepada orang lain, kotak kedua untuk kau simpan dalam hati (ilmu bathin, hikmah)“
Aku masih terpukau dengan debur ombak di laut lepas, begitulah kuasa Tuhan mengatur alam dengan kekuatan maha dahsyatnya. Matahari mulai jatuh di garis laut ; pertanda sore hari akan segera berpamitan pada siang yang telanjang di bawah sinarnya, cahayanya memamerkan senja yang begitu eksotis, andai saja aku seorang pelukis, akan kulukiskan rona merah di langit itu, aku hanya bisa menangkapnya dalam kepala, kuseka guyuran keringat yang melata di keningku dengan kemeja yang kupakai selama beberapa hari, ini adalah pertama kalinya aku melewati jalur Pantura.
“Apakah kamu pernah memperhatikan kolam aquarium, kenapa dalam kolam aquarium selalu disertakan air mancur?” Aku balik bertanya padanya, dan ia pun mulai sedikit paham apa yang aku sampaikan.
Sama halnya dengan air yang ada di lautan, Tuhan menciptakan makhluk bernama angin agar menjadi media sirkulasi bagi kehidupan. Jika air laut itu diam, maka para penghuni laut ; ikan dan semua spesies, tidak akan bertahan lama, dengan adanya gelombang tersebut akan memberikan dampak yang sangat positif. Sama seperti manusia, ketika manusia dipaksa diam dirumah saja, maka akan mengalami depresi yang sangat hebat. Demikian pula pelajaran dari seorang nelayan, ia tetap bergerak meski ombak dan badai menerjang, mereka tidak pernah sedikitpun untuk mundur dari medan pertempuran. Mulailah kita memerangi rasa takut terhadap sesuatu yang bathin (tidak nampak) ia akan ada jika kita meyakini keberadaannya, jika kita tidak meyakini keberadaannya, maka ia pun tidak akan pernah ada. Hidup itu adalah perang, memerangi rasa malas, rasa bosan, rasa takut dan sebagainya. Jika kita tidak memulainya dari sekarang, mau sampai kapan pandemi ini berhenti?
Demikian sebuah tulisan singkat ini semoga menjadi sebuah hikmah, dan pelajaran, aku selalu menegaskan hikmah itu akan datang ketika seorang manusia tidak tunduk kepada akalnya, tapi tunduk kepada hatinya!
(Nomina, 18 Mei 2020)