
Berhentilah diri! Berhenti dari pengaturan-pengaturan akal ; pengaturan selain Tuhan, karena Ia telah menerapkan aturan-aturan dalam tubuh, jiwa, dan ruhani. Jangan berpikir bahwa akal sebuah tiara di atas kepala yang penuh kemewahan semata, ia hanya diam dalam singgasana nafsu yang mengarahkan tubuh pada Wujud Zalal (wujud fana), duduklah dalam tahta “Sudhur” kesuciannya tak akan pernah pudar, sekalipun tubuh-tubuh itu jatuh pada kubangan lumpur-lumpur kenistaan, hati tetaplah hati, keyakinan tetaplah keyakinan yang tak bisa dibohongi, hati senantiasa membawamu pada ikatan suci.
Jangan kau campuri urusan diri! sesungguhnya Ia yang berhak mengurusi diri. Betapa angkuhnya jiwa-jiwa yang lupa, ketika pagi datang mengintip dari tirai malam ; tirai yang selalu gegap dengan gelap, ditaburi oleh dingin sekeliling alam perasaan, kedua mata yang terbuka seakan menutup ribuan bahkan jutaan pintu hati dari nikmat sang penguasa (Rabb). Hangat peluk sinar mentari yang datang dari ufuk langit, cahaya yang selalu diakui kenyataannya, namun sesungguhnya sumber kehidupan nyata adalah Nur Illahi. Hirupan udara adalah oksigen yang membaur dalam tubuh, rejeki yang kita nikmati tak datang dari kesepuluh jarimu, tapi ia datang dari sebuah kemurahan-Nya. Jantung laksana pompa yang mengalirkan darah melalui liku urat yang melilit dalam tubuh, daging dan tulang, maka semakin diri hanyut dalam arus pikiran akal, semakin diri dan jiwa menjauh dari cahaya-Nya.
Beristirahatlah dari pengakuan-pengakuan amal (gerak, bekerja, aktivitas duniawi, ukhrowi yang diakui oleh diri) tanpa-Nya tubuh-tubuh itu tak akan mampu beramal, “Lahaulaa Walaa kuwwata Illaa Billah” bukankah itu sebuah Ikrar yang telah kita ucapkan saat pertama kali kita mengenal-Nya?
Begitulah ruang lingkup seorang hamba yang wajib diketahui oleh hambanya.
***
Nomina, 3 Mei 2020