“Sebuah matlamat manusia (makhluk) kerdil nan angkuh yang akan terbaring dalam pusara kubur”
Nomina
“Aku menjelajahi bahtera damai dalam sampan, berharap di tepi sampai”- Agenda 707-

Apabila malam jatuh kepadaku, tidak ada hal lain yang kulakukan adalah aku mencoba menaiki sebuah sampan kecil dengan dua dayung di tanganku, kuarungi samudera gelap, terang, sunyi, dan suara. Gelap adalah muasal hilangnya makna pada sepasang mata dan hati (Ainal Bashirot – Bashiratul Ain) sebelum cahaya tercipta di hari itu ; hari yang telah ditentukan wujudnya, kucoba menutup mata. Terang cahaya adalah benderang dalam pelupuk, menerangi gelap semesta yang terhalang oleh kedip, kemudian aku membuka mata. Sunyi adalah pemberhentian gerak semesta dalam jirim (batang tubuh) alam dan makhluk yang senantiasa, berubah pola, berubah arah, berubah pemikiran (Tagoyur-berubah) mutlak, semua itu bukti terpeliharanya sebuah takdir. Suara adalah wujud dalam bentuk lain dari gerak dzat tanpa rupa, tanpa warna, perjalanan Wujud Akli dan Wujud Hisi. Did Lughawi dan Naqid Istilahi, dua perkara yang mustahil berada dalam satu titik, ada gelap, tidak akan ada terang, ada sunyi, pasti ada suara, adanya gerak, maka tidak akan ada pula diam.
Empat ribu tahun setelah terciptanya cahaya itu kemudian Ia ciptakan pula sebentuk alam (Arasy) yang meliputi alam lainnya, dikatakanlah dalam sepenggal ayat “Kun Fayakun” terbentuklah penciptaan kedua, tidak ada keharusan manusia selain memikirkan sesuatu yang harusnya dipikirkan pertama kali adalah mengetahui awal diri kita sebagai manusia – Man arofa nafsahu fakod arofa robbahu- “barang siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya” namun, tebalnya dinding dunia (fana) membutakan semua.
Aku menguliti setiap jengkal tubuh, setiap tetes darah, setiap hembus nafas, setiap detak jantung, setiapnya adalah tanah, air, api dan udara yang terbentuk dalam Maqom Jama’. Proses panjang dan perjalanan yang lekang saat aku berada dalam rahim sang ibu, rahim yang diciptakan sebagai alam tempat tinggalku dahulu kala. Kerasnya dunia ini serupa debur ombak di atas puncak samudera, badai menggoyangkan sampan, topan mengubah haluan perjalanan, bertahan atau tenggelam bagaimana kokohnya kedua tangan menggenggam kedua dayung itu, sampai atau tidak ke tepian tergantung seberapa benar kompas hidup kita.
(Nomina, 24 Ramadhan 1441 H)