Aku tidak bisa untuk tidak berkata lelah, karena aku manusia, hidupku memang tidak seberuntung orang lain, begitupun jiwaku rapuh seperti kain, tapi tidak juga melupakan sesuatu yang telah Ia berikan, setiap kesempatan, kebijaksanaan, serta benang kasih yang Ia sebarkan melalui detak jantung, hela nafas, bahkan aliran darah ini.
Pada suatu malam, aku tak melihat satupun rahasia dari kegelapan kecuali bintang yang berjalan lamban, seperti seorang perempuan yang duduk sambil menekuk senyumnya. Sehingga ketika malam itu menggelapkan kenyataan, aku adalah tamu, datang menuju cahaya bulan, warnanya keruh putih seperti bulu serigala
Aku meratapi duka lara serta payah di setiap kedip, aku menentang malam dengan kekerasan hati, aku memuji Tuhanku diantara malapetaka, lalu dukaku terbang dengan ringan melebihi angin. Selepas pagi, sinar matahari membungkuk, membangunkan masa mudaku menatap cermin di dinding, usia muda telah lewat, meluap sampai di leher dan uban yang tumbuh mengingatkanku dari mimpi-mimpi
Jaket tebal dengan uraian bulu lembut di leher, sorban melilit dan baju zirah bersiap melindungi kesepianku. Sifat jalang mata burung yang liar, Aku ingin duduk sebentar, diantara dua ujung sayap burung elang yang gugup menyambar merpati pada hari yang mendung. Ku bangun rumah di tanah kosong sunyi, senyap, gelap, hatiku terikat di keramaian, ku duduk seperti keledai hutan, tidak ada orang melewati, nihil suara kaki, air menyakitkan, rumput menjalar dari pori-pori bumi
Dan lagi, matahari membangun lamunan siang, terkunci nyanyian serangga hutan bersama pikiran yang datang dari ruas kayu seperti angin dan tornado
Kota Santri, 2021
Eh teman-teman, setelah selesai membabat habis rumput-rumput di pinggir kolam, rencananya akan ku tanami sayuran, cabai rawit, kuncai, kacang panjang, nanti aku kabari dadaaahhhh hehehe
“Sebuah matlamat manusia (makhluk) kerdil nan angkuh yang akan terbaring dalam pusara kubur”
Nomina
“Aku menjelajahi bahtera damai dalam sampan, berharap di tepi sampai”- Agenda 707-
Apabila malam jatuh kepadaku, tidak ada hal lain yang kulakukan adalah aku mencoba menaiki sebuah sampan kecil dengan dua dayung di tanganku, kuarungi samudera gelap, terang, sunyi, dan suara. Gelap adalah muasal hilangnya makna pada sepasang mata dan hati (Ainal Bashirot – Bashiratul Ain) sebelum cahaya tercipta di hari itu ; hari yang telah ditentukan wujudnya, kucoba menutup mata. Terang cahaya adalah benderang dalam pelupuk, menerangi gelap semesta yang terhalang oleh kedip, kemudian aku membuka mata. Sunyi adalah pemberhentian gerak semesta dalam jirim (batang tubuh) alam dan makhluk yang senantiasa, berubah pola, berubah arah, berubah pemikiran (Tagoyur-berubah) mutlak, semua itu bukti terpeliharanya sebuah takdir. Suara adalah wujud dalam bentuk lain dari gerak dzat tanpa rupa, tanpa warna, perjalanan Wujud Akli dan Wujud Hisi. Did Lughawi dan Naqid Istilahi, dua perkara yang mustahil berada dalam satu titik, ada gelap, tidak akan ada terang, ada sunyi, pasti ada suara, adanya gerak, maka tidak akan ada pula diam.
Empat ribu tahun setelah terciptanya cahaya itu kemudian Ia ciptakan pula sebentuk alam (Arasy) yang meliputi alam lainnya, dikatakanlah dalam sepenggal ayat “Kun Fayakun” terbentuklah penciptaan kedua, tidak ada keharusan manusia selain memikirkan sesuatu yang harusnya dipikirkan pertama kali adalah mengetahui awal diri kita sebagai manusia – Man arofa nafsahu fakod arofa robbahu- “barang siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya” namun, tebalnya dinding dunia (fana) membutakan semua.
Aku menguliti setiap jengkal tubuh, setiap tetes darah, setiap hembus nafas, setiap detak jantung, setiapnya adalah tanah, air, api dan udara yang terbentuk dalam Maqom Jama’. Proses panjang dan perjalanan yang lekang saat aku berada dalam rahim sang ibu, rahim yang diciptakan sebagai alam tempat tinggalku dahulu kala. Kerasnya dunia ini serupa debur ombak di atas puncak samudera, badai menggoyangkan sampan, topan mengubah haluan perjalanan, bertahan atau tenggelam bagaimana kokohnya kedua tangan menggenggam kedua dayung itu, sampai atau tidak ke tepian tergantung seberapa benar kompas hidup kita.