PUISI

Selamat Jalan Bulan

Setelah tampak cahaya malam, sepasang kata berdiri di pintu Maghrib, memutus dirimu dari takut, gelisah, dan kebimbangan, asap wujudnya terkepul di dada.

Akan tetapi cahaya siangnya masih terjaga disemai perbincangan, sampai pasukan-pasukan malam menyerang dengan genderang.

Mereka di antara pasukan Ruh dan Nuh, karena mereka berada di antara “Kasyaf” dan “Sitr”

Sedangkan malam mengandung kita, dibalut dingin yang mencekam, menunggu subuh, basuhlah lidah, akal, dan jiwa dengan derai takbir.

Makna hakikat datang dengan perbendaharaan kata-kata, datang kepada hati yang remuk, luluh lantak, pecah berkeping, berbeda-beda kedisiplinannya.

Ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun membekas, seperti kilatan di lengkung mega malam nan kelabu, di dinding langit yang sesak dengan gemintang, lenyap dalam keabadian

Andai pula ia meninggalkan bekas, tentang kepergian waktunya, yang ada tinggal dukanya, jika kebat cahayanya sangatlah asing, kita akan berada bersama luapannya, hidup dalam sorotan berkatnya.

Dan, pada hamparan kedua kalinya, semua memenuhi harap, menunggu cahaya itu kembali, dalam damai, dalam keseragaman

Kita akan berpisah setahun, sekembalinya diriku, biarkan aku memelukmu, “Salam-Mu” memelukku, memeluk mereka, memeluk keterasingan

Nomina, 1 Syawal 1441 H

PUISI

Catatan Seorang Murid

Aku adalah seorang murid, selalu mengatakan itu. Berulang-ulang.

Kepada angin

Kepada hujan

Kepada semesta.

Kefakiran adalah hari raya bagiku, tidak ada kegembiran dalam catatanku, kelak lidahku kelu untuk mengucapkannya

Di hadapan guru

Di hadapan hakim

Di hadapan Tuhan

Malam adalah kita ; aku dan buku, di kedalaman sunyi, berhentilah suara, berhentilah angin

(Nomina, Ciluncat, 1424 H)