SEBERKAS KISAH

Melihat ke Dalam

☆☆☆☆☆

September, selalu ada awan gelap diantara langit yang cerah ; bulan penuh hujan. Aku lebih menyukai kerikil di bawah telapak kakiku, karena mudah untuk kucongkel keluar, lalu membuangnya sampai jauh agar tak menjadi sandungan bagi laju pejalan lain di belakangku.

Lanjutkan membaca “Melihat ke Dalam”
PUISI

Membayar Lamunan


Pada suatu malam, aku tak melihat satupun rahasia dari kegelapan kecuali bintang yang berjalan lamban, seperti seorang perempuan yang duduk sambil menekuk senyumnya. Sehingga ketika malam itu menggelapkan kenyataan, aku adalah tamu, datang menuju cahaya bulan, warnanya keruh putih seperti bulu serigala

Aku meratapi duka lara serta payah di setiap kedip, aku menentang malam dengan kekerasan hati, aku memuji Tuhanku diantara malapetaka, lalu dukaku terbang dengan ringan melebihi angin. Selepas pagi, sinar matahari membungkuk, membangunkan masa mudaku menatap cermin di dinding, usia muda telah lewat, meluap sampai di leher dan uban yang tumbuh mengingatkanku dari mimpi-mimpi

Jaket tebal dengan uraian bulu lembut di leher, sorban melilit dan baju zirah bersiap melindungi kesepianku. Sifat jalang mata burung yang liar, Aku ingin duduk sebentar, diantara dua ujung sayap burung elang yang gugup menyambar merpati pada hari yang mendung. Ku bangun rumah di tanah kosong sunyi, senyap, gelap, hatiku terikat di keramaian, ku duduk seperti keledai hutan, tidak ada orang melewati, nihil suara kaki, air menyakitkan, rumput menjalar dari pori-pori bumi

Dan lagi, matahari membangun lamunan siang, terkunci nyanyian serangga hutan bersama pikiran yang datang dari ruas kayu seperti angin dan tornado

Kota Santri, 2021

Eh teman-teman, setelah selesai membabat habis rumput-rumput di pinggir kolam, rencananya akan ku tanami sayuran, cabai rawit, kuncai, kacang panjang, nanti aku kabari dadaaahhhh hehehe

PUISI

Puisi : “Kita”

Fixel

Kita meliuk pada samudera yang sama

Digulung ombak dan badai

Terkadang diselimuti dingin dan sunyi

Tapi aku harus merangkak bersama harapan

Aku tahu tepi itu tidak mudah untuk dijangkau

Bahkan tangan dan kaki ini tak mampu menggapai

Kenapa hati dan hati dipisah?

Jarak dan waktu selalu membelah

Jika dua jiwa harus berpamitan

Pada sahut suara hujan

Yakinlah warna pelangi menyambut terang

Nomina, Nov 2020
IDEA

Metafora Musim Gugur

“Yang terlontar dari mulut awan dan bibir langit adalah kebat angin dan rintik hujan”

Nomina
Fixel

Musim panas yang terik akhirnya mereda, sayapnya mengiris udara di bawah langit itu menjadi gumpalan mega. “Apakah itu bintang Virgo yang dinantikan para peramal tua?” Aku ingin mengajakmu ke sana, melihat dengan tegas susunannya atau sekedar berdiri di atas tumpuan emas dan batu-batu giok yang sangat megah. Akan kutunjukan adanya sebentuk perhatian, kemurahan hati, kelembutan dan semangat juang. Gambar yang diukir sepenuhnya oleh batu arcana, batu berwarna cemerlang yang dengan cerdik menyembunyikan melankolisnya musim gugur, dan saat jemariku menunjuk gugusan bintang-bintang itu, mari ucapakan selamat tinggal padanya untuk membuka bulan baru dengan penuh keharmonisan.

Meski ada dinding tebal yang menutupi permukaan mata akan tetapi raut wajahmu tetap menyilaukan pandangan. Bunga Kartika yang masih ranum membuka kuncupnya ke atas langit bergerak bebas tanpa ada belenggu ragu yang mengikat satu helai pun pada tubuhnya. Angin yang meliuk dari utara menggoyangkan tangkainya, tanpa ia sadari sebuah takdir dari atas langit yang tinggi turun bersama daun-daun jatuh dengan kerelaannya ia melepaskan tubuh dan jiwanya terdampar di atas tanah hitam, tapi dengan cepat tanah memeluknya agar gemilang warnamu tetap terjaga. “Bukankah tubuhku dan sebagian tubuhmu adalah hal yang serupa?”

Kartika aku ingin mengatakan satu hal kepadamu bahwa aku sedang berdiri di depan sebuah gedung suci, namun makhluk ganas berjubah dengan pedang di tangan kanannya dan tameng di tangan kirinya sedang berusaha menghalauku. Sudah berulangkali kukatakan kepadanya, aku hanya ingin melantunkan pujian berserta doa-doa yang membasuh tubuhku sehingga jiwaku menjadi dingin dan diam. “Apakah ia dilahirkan dari keserakahan?” Sebuah awal seperti air tenang di atas sungai kegembiraan, atau ibarat rumput yang memagari kedua sisi jalan kehidupan, indah tertiup sepoi, lalu waktu mengubahnya menjadi gelombang badai yang disertai petir.

Mawar hitam tumbuh dengan cepat menjadi epidemi, tanah hijau berubah menjadi ladang-ladang kegelisahan. Kartika adalah lambang terkasih putri tunggal yang menjadi tulang punggung keluarganya. Bertahun-tahun tangannya menggeluti pengetahuan ajaib dan mencoba membantu peramu lainnya agar tanaman menjadi tumbuh dengan tangkap dan cerdas. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keadaan resah beserta orang-orang yang bertujuan sama. Akan tetapi mereka menyadari bahwa mistiknya telah diplintir dan dibalik menjadi bagian pemusnahan dan kebinasaan. Keluarlah dari bilik-bilik kecanggungan, kemudian masuk kembali ke dalam lumbung kebahagiaan karena sesungguhnya tidak ada yang mampu menekuk hukum alam, dan sebentar lagi penegak hukum terakhir akan datang dengan komando yang kuat.

Nomina, 2020

PUISI

Kedot

Seperti buih dan riak menyentuh bibir pantai, mengelupas pasir putih, mengikis lembutnya.

Harum semerbak bunga karang yang kuncup di permukaan laut biru, menawarkan ragam

Riuh gemuruh ombak dikepak sayap angin, bergeraklah tangan dayung, bergerak menuju gelombang.

Seia sekata, tiada pertengkaran, begitulah alam saling menyepakati hukumnya

Manusia?

(Nomina, 2004)

PUISI

Selamat Jalan Bulan

Setelah tampak cahaya malam, sepasang kata berdiri di pintu Maghrib, memutus dirimu dari takut, gelisah, dan kebimbangan, asap wujudnya terkepul di dada.

Akan tetapi cahaya siangnya masih terjaga disemai perbincangan, sampai pasukan-pasukan malam menyerang dengan genderang.

Mereka di antara pasukan Ruh dan Nuh, karena mereka berada di antara “Kasyaf” dan “Sitr”

Sedangkan malam mengandung kita, dibalut dingin yang mencekam, menunggu subuh, basuhlah lidah, akal, dan jiwa dengan derai takbir.

Makna hakikat datang dengan perbendaharaan kata-kata, datang kepada hati yang remuk, luluh lantak, pecah berkeping, berbeda-beda kedisiplinannya.

Ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun membekas, seperti kilatan di lengkung mega malam nan kelabu, di dinding langit yang sesak dengan gemintang, lenyap dalam keabadian

Andai pula ia meninggalkan bekas, tentang kepergian waktunya, yang ada tinggal dukanya, jika kebat cahayanya sangatlah asing, kita akan berada bersama luapannya, hidup dalam sorotan berkatnya.

Dan, pada hamparan kedua kalinya, semua memenuhi harap, menunggu cahaya itu kembali, dalam damai, dalam keseragaman

Kita akan berpisah setahun, sekembalinya diriku, biarkan aku memelukmu, “Salam-Mu” memelukku, memeluk mereka, memeluk keterasingan

Nomina, 1 Syawal 1441 H