Pada suatu malam, aku tak melihat satupun rahasia dari kegelapan kecuali bintang yang berjalan lamban, seperti seorang perempuan yang duduk sambil menekuk senyumnya. Sehingga ketika malam itu menggelapkan kenyataan, aku adalah tamu, datang menuju cahaya bulan, warnanya keruh putih seperti bulu serigala
Aku meratapi duka lara serta payah di setiap kedip, aku menentang malam dengan kekerasan hati, aku memuji Tuhanku diantara malapetaka, lalu dukaku terbang dengan ringan melebihi angin. Selepas pagi, sinar matahari membungkuk, membangunkan masa mudaku menatap cermin di dinding, usia muda telah lewat, meluap sampai di leher dan uban yang tumbuh mengingatkanku dari mimpi-mimpi
Jaket tebal dengan uraian bulu lembut di leher, sorban melilit dan baju zirah bersiap melindungi kesepianku. Sifat jalang mata burung yang liar, Aku ingin duduk sebentar, diantara dua ujung sayap burung elang yang gugup menyambar merpati pada hari yang mendung. Ku bangun rumah di tanah kosong sunyi, senyap, gelap, hatiku terikat di keramaian, ku duduk seperti keledai hutan, tidak ada orang melewati, nihil suara kaki, air menyakitkan, rumput menjalar dari pori-pori bumi
Dan lagi, matahari membangun lamunan siang, terkunci nyanyian serangga hutan bersama pikiran yang datang dari ruas kayu seperti angin dan tornado
Kota Santri, 2021
Eh teman-teman, setelah selesai membabat habis rumput-rumput di pinggir kolam, rencananya akan ku tanami sayuran, cabai rawit, kuncai, kacang panjang, nanti aku kabari dadaaahhhh hehehe
Dia dinamakan akal yang meliputi (akal universal) karena dia telah melihat dan mengenali segala-galanya. Dia dinamakan qalam karena dia menyebarkan hikmah dan ilmu dan dia mencurahkan ilmu ke dalam huruf-huruf.
Syarah Kitab Futuhul Ghaib
“THE COCOKOLOGI”
Saya berangkat pagi ini dengan membawa perbekalan secukupnya ; seperangkat alat sholat dibawa tunai dalam tas kecil dan tak lupa perbekalan lainnya yang menjadi kewajiban, lengkap dengan alat tulis ; buku agenda “Tarbiyah Jagad” sengaja saya beri nama itu, karena kebetulan cover depan bukunya bertuliskan “Agenda 707”, jika kalian ke warung ataupun toko buku mungkin kalian menemukan judul buku yang sama, entah sejak kapan buku itu muncul di pasaran, dulu namanya “Agenda Kerja”.
Saat pertama kali saya memilih buku “Agenda 707” saya bertanya-tanya, angka tujuh yang di apit angka nol membuat saya berpikir lebih dalam lagi, “Tujuh lapis cakrawala yang kita lihat setiap malam dengan hiasan bintang gemintang serta sinar cahaya berupa wujud bulan, dan di tengah-tengah nya, adalah kekosongan (ruang hampa) tentu tidak se-kosong yang dibayangkan, kemudian setelahnya tujuh lapis (punggung) bumi yang dipijak oleh kaki mungil berupa makhluk hidup.
Sudah enam belas tahun saya mengoleksi buku agenda 707 itu, kurang lebih setahun tiga sampai empat buku saya habiskan, tentunya sesuai kebutuhan materi yang ingin saya tulis. Tak lupa pula saya memilih pena mana yang mudah saya gunakan, tentunya saya memilih pena yang ringan, agar dapat meringankan isi kepala, mungkin banyak di luaran sana yang punya kesamaan dengan hobi saya, terkesan jadul sekali, tapi ini suatu alat refleksi diri bagi saya.
Hampir setiap harinya saya menitikkan tinta di atas kertas kosong itu, entah apa yang ingin saya curahkan di dalamnya, apabila tak menghasilkan kata-kata yang diinginkan saya merefleksikannya pada sebuah gambar ; hewan, bangunan, pohon, manusia, yang orang lainpun tak banyak yang memahaminya.
Dering suara handphone bersahutan, nada panggilan yang mengemas keresahan tak jua ku perhatikan “Hari ini saya Off dari hiruk-pikuk keseharian” dengan serba-serbi alasan yang saya anggap kurang jelas untuk dicerna lebih dalam. Sepertinya sudah satu pertiga kota ini dijelajahi tanpa kupikirkan sampai dimana berhenti roda dan kaki ini menyudahi perjalanan, berhentilah di sebuah konter HP, karena cuaca sudah mulai murung, saya tidak bisa melawannya. Saya duduk sambil meminta ijin untuk mengisi baterai HP yang mulai surut tenaganya.
“Kenapa dia bang?” Saya bertanya kepada si pemilik konter
“Jangan ditatap mukanya, biarkan saja, dia sedikit kurang sehat, nanti dia ngamuk!” Pemilik konter itu menjelaskan
Saya tidak merasa takut sekalipun, malah semakin penasaran dengannya, kuambil sebungkus roko dari tas kecil.
“Lagunya bagus bang, Dream Theater ya?” Saya memberanikan diri untuk bertanya.
“Ya Dream Theater” Sahutnya.
“Nyanyi sekali lagi boleh gak, duet, sambil ngeroko asyik nih”? Saya memintanya sekali lagi untuk bernyanyi. Dan bernyanyilah kita dengan riang ;
Where did we come from? null, Why are we here? Where do we go when we die? What lies beyond
And what lay before? Is anything certain in life? They say, “Life is too short” Have I lived before,
“The here and the now” And “You’re only given one shot” But could there be more, Or could this be all that we’ve got?
If I die tomorrow, I’d be all right, Because I believe, That after we’re gone, The spirit carries on
I used to be frightened of dying, I used to think death was the end, But that was beforeI’m not scared anymore
Saya berhenti menyanyikannya, karena telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari dirinya yang dianggap gila, ternyata orang gila lebih sufistik dari orang waras yang dihantui rasa takut. Hehehe.
Langit menunjukan kasihnya kepada bumi, sore ini. Jatuhlah tangan-tangan hujan menyentuh datar bumi, seperti yang ia lakukan setiap hari, ia lewat meraih tanganku, memberikan penyesalan dalam hatiku, kemudian ia berlalu tanpa ragu, begitupula para penghuni neraka, jika kulitnya terpanggang matang, maka akan kembali pula kulit-kulitnya, itulah suatu penderitaan. Orang-orang mati itu bukanlah sebagai tempat peristirahatan, tetapi kematian adalah kehidupannya.
“Cinta adalah naluri sederhana yang tercipta dari sepasang jiwa yang rumit, sedangkan kecewa adalah kematian kesederhanaan keduanya”
Nomina
Ketika aku melihatmu, aku langsung jatuh cinta, ketika aku jatuh cinta, pantang bagiku untuk jatuh cinta kepada lainnya.
“Inilah aku beginilah diriku, aku bukan putih apalagi hitam, akan tetapi abu-abu adalah jalan hidupku, aku cinta kehidupan tapi tak benci kematian”
Dorongan batin terjadi begitu saja, hatiku tak mampu berpaling dari wujudmu, sebuah kontemplasi sederhana yang saat itu datang kepadaku, kebulatan pikiran, keteguhan tekad serta keyakinan yang kuat menggiring opiniku untuk meminangmu, sebuah ijab kabul terucap dari kedua mulut beserta tangan ini, tanpa ragu, tanpa ada hasrat tercela yang datang dari keduanya (aku dan kamu), sah akhirnya kamu menjadi milikku seutuhnya.
Kita cukup lama bersama-sama dalam susah maupun senang, aku cukup yakin bisa melewati itu semua, bahkan dalam kondisi kantong krisis sekalipun aku berusaha menunaikan kewajiban itu, semata-mata agar kamu bisa hidup dalam relung batinku. Kau seperti bunga yang tumbuh di taman hati, kusirami setiap harinya dengan tetes-tetes cinta tanpa jeda.
Enam belas tahun memang cukup lama, aku pernah menyukai hal lainnya, akan tetapi aku tetap mempertahankan dirimu seutuhnya, bukan karena sebutuhnya. Aku sadar satu hal dalam kehidupan ini, jika ada kehidupan tentu akan ada kematian, saat semua orang menghakimi ketiadaanmu, seakan keyakinanku tumbuh semakin besar, bahwa kita akan tetap bersama untuk mengarungi hidup kembali, akan tetapi jika Tuhan berkata lain, kerelaan itu harus datang dari jiwaku.
Kekecewaan itu seperti gelombang yang muncul dari dasar-dasar hati, meluluhlantakkan istana yang megah dalam jiwa. Jika pertemuan kita adalah nasib maka perpisahan kita adalah takdir. Sebagai bukti kesetiaanku aku tak ingin secepatnya menemukan tambatan hati yang lain, namun apabila aku telah menemukan cinta yang lainnya, engkau jangan pernah meragukan kesetiaan itu. Al-fatihah.
Kuucapkan selamat tinggal untukmu, semoga kau tenang di alam sana (Almh Im3 -Lahir 2006- Wafat 2020)